GresikSatu | Persoalan legalitas rumah ibadah umat Kristiani di Kabupaten Gresik masih menyisakan pekerjaan rumah.
Sejumlah gereja dilaporkan belum memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sesuai ketentuan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.
Ketua Badan Musyawarah Antar Gereja (BAMAG) Kabupaten Gresik, Pdt Royke William David, menyebut dari sekitar 70 gereja yang tersebar di berbagai kecamatan, hanya segelintir yang telah mengantongi IMB.
“Masih banyak gereja di Gresik yang secara legalitas memang belum memiliki IMB. Alasannya karena banyak hal,” ungkapnya, Rabu (16/4/2025).
Menurutnya, pengurusan IMB tidak semata-mata urusan administrasi. Banyak kendala yang harus dihadapi, mulai dari status lahan hingga aspek sosial di lingkungan sekitar.
“Syarat pengajuan IMB itu kompleks. Tanahnya harus status hibah, tidak boleh milik perorangan. Ada yang sudah memenuhi syarat, tapi masih sulit karena terkendala izin lingkungan, seperti akses parkir atau penolakan warga,” jelasnya.
Ia mencontohkan beberapa gereja yang belum memiliki IMB meski sudah lama berdiri. “Yang benar-benar ber-IMB bisa dihitung jari. Misalnya GPIB yang sudah berdiri selama 30-an tahun. Bahkan GBI Rock yang mulai beroperasi sejak 2007 pun belum memiliki IMB hingga kini,” imbuh Pdt. Royke.
Dari data BAMAG Gresik, tercatat ada sekitar 70 gereja yang terdaftar secara resmi dan tersebar di 10 kecamatan. Wilayah Gresik selatan menjadi lokasi dengan jumlah gereja terbanyak, sedangkan wilayah utara tercatat memiliki sekitar 20 gereja.
Meski dihadapkan berbagai tantangan, pihaknya menargetkan pada tahun 2025 ini sedikitnya 10 gereja bisa mendapatkan izin resmi.
“Kami optimis karena koordinasi dengan pemerintah daerah makin kuat. Dulu pendekatan teknis ke pemda masih kurang, tapi sekarang kami akan duduk bersama dan membicarakan prosedur serta teknis pengajuan IMB,” ujarnya.
Tak hanya soal IMB, BAMAG juga menyoroti persoalan lain yang mendesak, yakni keterbatasan lahan pemakaman untuk umat Kristiani di Gresik.
“Saat ini tersisa hanya sekitar 10 persen lahan makam. Karena keterbatasan itu, beberapa keluarga terpaksa memakamkan anggota keluarganya dalam satu liang—jadi bertumpuk, karena memang tidak ada lagi lahan yang tersedia,” ungkapnya.