Citra Religius Tanpa Etika : Ketika Jubah Tidak Mencerminkan Akhlak

Oleh : Ayu Fitri Sholikhah

Tokoh agama merupakan sosok publik figur yang dikenal dari berbagai kalangan, baik anak muda maupun orang tua. Publik figur ini memiliki peran penting dalam penyebaran agama kepada khalayak luas.

Penyebaran agama ini tidak melulu terpaku untuk membuat seseorang percaya akan agama tersebut, tetapi bagaimana penyebaran ini juga memberikan pengetahuan nilai-nilai moralitas dalam kehidupan sehari-hari.

Saat hidup berdampingan dengan orang lain, nilai moralitas ini sangat diperlukan supaya dapat menciptakan masyarakat yang saling menghargai dan menghormati.

Tokoh atau ahli agama ini dipandang sebagai simbol kebijaksanaan, moralitas, dan kejujuran. Namun dibalik pandangan positif masyarakat terhadap tokoh agama, terdapat fenomena nyata bahwa dibalik karakter religius yang melekat pada diri mereka muncul tindak-tanduk yang justru tidak mencerminkan akhlak mulia seperti ajaran agama.

Dari beberapa pernyataan tersebut, timbul sebuah pertanyaan : Apakah citra religius bisa dijadikan tolak ukur moralitas?

Sejatinya pendidikan karakter merupakan bagian penting dari pendidikan dasar (Tanti et al., 2022). Mempunyai ilmu yang cukup, akhlak mulia, berkepribadian baik, serta sehat jasmani dan rohani merupakan wujud dari tujuan pendidikan nasional.

Baca juga:  Cokro Ekraf, Jalan Perlawanan Pribumi

Sebelum menjadi seorang tokoh atau ahli agama, seharusnya mereka sadar bahwa tidak cukup citra religius saja yang diperlukan dalam berdakwah melainkan tata krama serta etika yang baik merupakan bagian yang paling penting untuk diingat. Sebab ilmu tanpa amal ibarat pohon yang tidak berbuah.

Fenomena tersebut terjadi baru-baru ini, dimana seorang ahli agama terpandang menjelek-jelekkan seorang pedagang es keliling. Hal tersebut merupakan perbuatan yang sangat tidak etis.

Seorang pedagang kecil yang hendak mencari rezeki untuk keluarganya tetapi mendapat kata-kata yang tidak pantas, terutama kata-kata tersebut dilontarkan dari seorang ahli agama yang mana seringkali dipandang sebagai panutan moral.

Ketika tindakan seseorang berlawanan dengan citra yang selama ini dia bangun ataupun ajarkan, mereka tidak hanya kehilangan kepercayaan masyarakat tetapi juga merusak esensi agama itu sendiri.

Peran kita sebagai masyarakat ialah harus lebih mengkritisi segala hal yang terjadi. Jangan mudah terpengaruh atau kagum terhadap penampilan luar atau kata-kata yang terdengar manis. Evaluasi tokoh agama berdasarkan integritas mereka, bukan sekadar popularitasnya.

Baca juga:  Refleksi Tiga Tahun Gresik Satu; Gresik ya Gresik Satu

Pilihlah panutan yang tidak hanya memiliki ilmu, tetapi seseorang yang mempunyai konsistensi antara ucapan dan perbuatannya. Selain itu peran dari institusi agama juga diperlukan.

Pendidikan agama juga seharusnya mengajarkan serta membangun akhlak mulia disertai dengan nilai moralitas yang baik. Pendidikan agama juga perlu diajarkan secara mendalam supaya masyarakat dapat memahami maknanya, bukan sekadar menjalankan ritual saja.

Melalui fenomena tersebut, bahwa sebuah gelar, jabatan maupun penampilan tidak menjadi tolak ukur kita untuk menilai seseorang. Tidak ada tembok pembatas yang menghalangi seseorang untuk terus berjuang, baik itu seorang pedagang.

Semua orang mempunyai kesempatan untuk bisa sukses kedepannya. Sangat tidak etis apabila seorang publik figur bahkan ahli agama untuk merendahkan profesi atau pekerjaan seseorang.

Hanya dengan fokus pada akhlak, kita dapat menghidupkan kembali keindahan agama sebagai pedoman hidup yang membawa kedamaian, bukan konflik maupun kebingungan. Dan hanya dengan itu, jubah agama tidak akan lagi menjadi sekadar simbol kosong, tetapi benar-benar mencerminkan kedalaman iman dan ketulusan hati.

Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Bahasan dan Sastra Inggris Universitas Airlangga

Reporter:
Tim Gresik Satu
Editor:
Tim Gresik Satu
Rekomendasi Berita

Advertisement

Terpopuler

spot_img