GresikSatu | Gresik tak hanya dikenal sebagai kota santri dan industri, tapi juga rumah bagi warisan budaya unik bernama Damar Kurung.
Lampion khas ini diyakini sebagai satu-satunya lampion di dunia yang bergambar dan bercerita, serta memuat nilai-nilai kehidupan masyarakat pesisir.
Hal itu mengemuka dalam diskusi budaya bertajuk “Lisan dalam Lukisan Sang Liyan” yang digelar komunitas seni rupa di Cafe Senja Jingga, Pucem, Giri, Gresik, Sabtu malam (7/6/2025).
Acara ini menjadi bagian dari rangkaian Pameran Seni Damar Kurung dan menghadirkan para narasumber dari berbagai bidang.
Hadir sebagai pembicara, Plt Bupati Gresik dr Asluchul Alif, Budayawan Gresik Kris Adji AW, peneliti dan Dosen DKV Petra Christian University (PCU) Dr Aniendya Christianna, serta kurator dan Dosen Universitas Ciputra, Ayos Purwoaji.
Diskusi berlangsung hangat bersama komunitas seni dan pelaku UMKM dari Kelurahan Sidokumpul, pusat produksi Damar Kurung di Gresik.
Kris Adji: Damar Kurung, Lampion yang Bisa Bercerita
Budayawan Kris Adji AW mengatakan bahwa Damar Kurung merupakan warisan budaya yang sangat khas. Lampion ini bukan hanya alat penerangan, tapi juga medium bercerita.
“Damar Kurung adalah satu-satunya lampion di dunia yang dindingnya bergambar, dan gambarnya punya cerita,” ujar Kris Adji.
Ia menjelaskan, seni Damar Kurung telah berevolusi dalam bentuk modern seperti baju, tas, koper, dan suvenir. Namun menurutnya, potensi seni ini belum dikelola secara maksimal.
“Kalau digarap serius, Damar Kurung bukan hanya dikenal nasional, tapi bisa mendunia hingga diakui UNESCO. Pemerintah harus turun tangan, jangan cukup dengan surat edaran. Ini potensi ekonomi kreatif yang nyata,” tegasnya.
Plt Bupati Alif: Damar Kurung Harus Terus Dilestarikan
Plt Bupati Gresik, dr Asluchul Alif mengaku sejalan dengan gagasan pelestarian Damar Kurung. Ia menyebut, lampion bergambar ini sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh pemerintah pusat sejak tahun 2017.
“Damar Kurung bukan sekadar warisan budaya, tapi punya nilai ekonomi. Kami sudah mempromosikan dengan memasang ikon Damar Kurung di beberapa kantor dinas,” ungkapnya.
Menurutnya, Pemkab Gresik juga meluncurkan e-book budaya yang tersebar di hotel-hotel. Dalam e-book tersebut, setiap produk budaya dilengkapi dengan kontak pelaku, agar mendorong pertumbuhan UMKM lokal.
“Ini bagian dari 100 hari kerja kami bersama Disparekrafbudpora. Tujuannya agar budaya Gresik bukan hanya dikenang, tapi juga menghidupi,” sambungnya.
Meski begitu, ia mengakui perlunya penjadwalan event budaya secara lebih terstruktur dan publikasi lebih masif.
“Ada banyak potensi budaya yang bisa diangkat. Kita butuh kolaborasi lintas sektor agar lebih maksimal,” tandas Alif.
Aniendya: Damar Kurung Adalah Tutur Visual Orang Pesisir
Dalam kesempatan itu, Dr Aniendya Christianna, peneliti Damar Kurung dari PCU Surabaya, menjelaskan bahwa secara artefak, Damar Kurung adalah hasil akulturasi budaya Jawa, Cina, dan Islam yang hidup di pesisir Gresik sejak dekade 80-an.
“Damar Kurung bukan hanya seni visual, tapi juga metode bertutur. Ia adalah rupa yang mengandung rasa,” ujar Nindy, sapaan akrabnya.
Menurutnya, setiap sisi Damar Kurung menyimpan tutur, yakni cerita, nasihat, atau dokumentasi sosial. Karya Masmundari—tokoh sentral Damar Kurung—merupakan bentuk dari filosofi hidup masyarakat pesisir.
“Ini manifestasi dari prinsip ‘sugih tanpo bondo, digdoyo tanpo aji, trimah mawi pasrah’. Damar Kurung adalah media pembacaan sejarah rakyat kecil,” jelasnya.
Ia baru saja menyelesaikan disertasi doktoralnya di ITB dengan fokus pada identitas perempuan Jawa dalam Damar Kurung karya Masmundari.
Ayos: Damar Kurung, Medium Sang Liyan
Kurator dan dosen Universitas Ciputra, Ayos Purwoaji, menambahkan bahwa Damar Kurung adalah contoh lampion langka yang memiliki narasi.
“Dari ribuan lentera di dunia, sangat sedikit yang bersifat naratif. Damar Kurung salah satunya,” ungkap Ayos.
Menurutnya, Damar Kurung dulunya dibuat untuk menyambut tradisi padusan—penyucian diri menjelang Ramadan. Tapi fungsinya berkembang menjadi dokumentasi sosial warga pesisir.
“Damar Kurung adalah medium ‘sang liyan’—suara orang-orang kecil, yang terpinggirkan oleh pembangunan dan industri. Ini harus terus hidup agar tak kehilangan fungsinya,” ujarnya.
Ayos juga mengajak masyarakat dan pemerintah memahami esensi Damar Kurung, bukan sekadar sebagai simbol, tapi juga sebagai konten budaya.
“Apakah hari ini Damar Kurung masih menjadi milik masyarakat pinggiran? Atau sudah jauh dari ‘sang liyan’ itu sendiri?” tutupnya.
UMKM Damar Kurung Ramaikan Acara
Diskusi ini juga dimeriahkan oleh kehadiran ibu-ibu pelaku UMKM dari RT II RW II Kelurahan Sidokumpul. Mereka membagikan suvenir khas berupa miniatur Damar Kurung, sekaligus memperkenalkan produk kreatif berbasis budaya.
Acara berlangsung hangat dan penuh apresiasi. Semua pihak sepakat bahwa Damar Kurung bukan hanya milik masa lalu, tapi juga peluang masa depan—baik sebagai seni rupa, ekonomi kreatif, maupun warisan dunia.