Gairah Berliterasi lewat Puisi

Oleh : Aji Saiful Ramadhan

“… sejak berdirinya Balai Pustaka (1917), di Indonesia mulai terjadi pergeseran budaya. Yaitu, dari budaya lisan ke budaya tulis, dan dari budaya dengar ke budaya baca.”

Saya mengambil kutipan di atas dari tulisan berjudul “Dua Penyair Baru” (Grissee Tempo Doeloe, 2004: 546-547). Kutipan di atas membahas perubahan kesusastraan Indonesia yang sebelumnya mengenal pantun, gurindam, macapat, atau syair pada akhirnya mengenal puisi, prosa, drama, dan esai. Dan perubahan ini menjadi batas antara sastra lama dan sastra baru.

Hasil pembacaan “Dua Penyair Baru” mengenalkan saya pada dua nama yang mengawali kepenyairan (sastra baru) di Gresik, yaitu: Suwandhi Indrakusuma atau Tjia Swan Djioe (1911- 1995); dan Achbir Simam atau H. A. Buchory Rachman (lahir dan wafat beliau masih saya telisik). Setelah itu, saya mencatat kemunculan nama-nama penyair di Gresik, antara lain: L. Machali (1953-2016), Mardi Luhung (1965-…), dan A. Muttaqin (1985-…).

Belakangan ini, saya juga mencatat beberapa penyair yang prosesnya berbeda dengan nama- nama yang saya sebutkan di atas. Hal ini dikarenakan beberapa penyair tersebut dibentuk dalam komunitas dan jaringan sehingga kepenyairan mereka mengalami sentuhan kolektif. Aktivitas mereka juga luar biasa karena menimbulkan kegairahan berliterasi di Gresik.

Kelompok Cager

Kelompok Cager adalah komunitas kesenian asal Gresik yang menggarap teater dan musik. Ternyata, pada tahun 2017, Kelompok Cager juga menggarap sastra dengan menerbitkan buku puisi “Dalam Doa yang Tak Pernah Selesai” (Pagan Press, 2017). Maksud menerbitkannya bisa saya ketahui lewat pengantar di halaman vi-vii, yaitu:

Keterangan: “Dalam Doa yang Tak Pernah Selesai” diterbitkan oleh Pagan Press pada tahun 2017. Sumber: Dok. Aji, 2021

“Kehadiran kumpulan puisi ini sangat ditunggu-tunggu oleh teman-teman pemerhati Kelompok Cager. Sebagai suatu kelompok seni yang mampu bertahan lebih dari dua puluh tahun ini, Cager coba mengungkap proses lintas generasi. Dalam berkesenian: bersastra, bermusik, dan berteater, para anggota pendahulu dan terkini Cager memiliki nilai sangat penting dalam perjalanan panjang, sebagai bagian dari perkembangan penciptaan karya seni yang ingin berbicara.”

Kelompok Cager menjadikan “Dalam Doa yang Tak Pernah Selesai” sebagai tantangan untuk menghasilkan kemungkinan baru dalam keindahan seni. Selain itu, Kelompok Cager menandakan puisi sebagai regenerasi.

Baca juga:  Choi Emem: Lagu Asmara Berlatar Wisata

Para penyair di buku puisi “Dalam Doa yang Tak Pernah Selesai” adalah anggota Kelompok Cager yang berusia tua dan muda, sebut saja L. Machali, Bambang Hermanto, Irfan Akbar Prawiro, Benny Lambang Sriaji, Wahyu Lazuardi, Woeryantini, Bima Arya Sena, Jarir Sururi, Abizar Purnama, Suef, Ayuning Tyas Muji Rahayu, Dewi Musdalifah, Faiz Ramadhan, Ario Aldi Lesmana, dan Sri Wahyuni.

Berikut ini puisi “Kata Penonton” karya Ayuning Tyas Muji Rahayu telah memberikan saya imajinasi tentang bagaimana penonton menjamah „nilai‟ atas kekhusyukan Kelompok Cager dalam berkesenian, yaitu:

KATA PENONTON

Sore itu angin memandu padi                                                                                                                            Bernyanyi mengiringi kam                                                                                                                                   Beberapa daun jati turut serta

Matahari, ia tak pandai bernyanyi
Juga pepohonan, mereka suka tidak tepat di tangga nada
Di situ mereka yang membacakan puisi

Tidak ada dialog penting
Tidak ada masalah serius
Ah, mungkin ada sedikit
Tapi pertunjukan sore itu begitu bahagia

Ruang Sastra Gresik

Ruang Sastra Gresik menjadi salah satu komunitas berisi anak-anak muda yang intens menggarap sastra melalui informasi, diskusi, pentas, hingga karya. Aktivitas Ruang Sastra Gresik bisa mereka lakukan secara luring di Gresiknesia atau pun daring di media sosial „Whatsapp‟.

 

Keterangan: Diskusi di Ruang Sastra Gresik Sumber: Dok. Ruang Sastra Gresik, 2018

Sejak berdiri tahun 2017, Ruang Sastra Gresik pernah mengadakan Festival Sastra Gresik dengan mendatangkan nama besar di kesusastraan Indonesia, seperti Seno Gumira Ajidarma dan Joko Pinurbo. Barangkali nama besar itu didatangkan oleh Ruang Sastra Gresik demi memperluas cakrawala pengetahuan.

Baca juga:  Musda V DKG: Ekosistem yang Ideal

Ruang Sastra Gresik menghasilkan beberapa penyair muda dengan puisi-puisi yang terkumpul menjadi buku, seperti “Jam Sibuk” (2018), “Mengukir Angin” (2018) hingga “Membingkai Rembulan” (2018).
Keterangan: Diskusi di Ruang Sastra Gresik Sumber: Dok. Ruang Sastra Gresik, 2018

Semangat bersastra yang dilakukan Ruang Sastra Gresik bisa saya gambarkan lewat puisi “Pertemuan” karya Raja Iqbal di buku “Membingkai Rembulan” (Pagan Press, 2018).

Keterangan: Peluncuran dan diskusi buku puisi “Mengukir Angin” dan “Membingkai Rembulan”
Sumber: Dok. Ruang Sastra Gresik,

PERTEMUAN

Hembus angin selatan-utara bertemu.

Dapat kubayangkan pertamuan sapamu.

Dengannya, yang terlampau langkah batuan antarkota.

Ah, biasa. Pemuda-mudi terlebih lincah,

tua-tua penuh waspada.

 

Tagih hak atas kewajiban-kewajiban yang macet

di meja kerja.

Mendekati bulan curiga. Periksalah pakaian puan,

lain hal hati dan pikiran.

Pastikan.

Tak ada noda tumpah,

Kau kan diduga-duga angkara.

 

Semalam suntuk, sekian pemuda merumus nilai-nilai.

Jarum merah di dinding.

Berdetak tak biasanya, seirama degup jantungmu, gugur

merusaki jiwa?

 

Pertemuan, kau di antara sekian pemuda bercuitan.

Menyerbui pagar amar.

Serba-serbi semerbak persekutuan di pangkuan perkotaan.

 

Dalih.

Sorak-sorai semacam pesta anggur darah para pemabuk.

Tetua antara puak-puak melempar pandang,

menyisir setiap jengkal sekat-sekat, daya pertahanan.

Lalu, pekik menanduk pelamun. Lembayung panji menjubahi

dirinya, kian kentara.

Semangat membuncah, menguras daya.

Aku merasa, seolah ada darah yang mengalir perlahan

melewati ruas pori dalam tubuh segenap nisan, membanjiri

jalanan. Seketika pula merah mereka, sepenuhnya!

aku terkagum, ia yang hidup

aku decak, ia yang melangkahi sejengkal malam

namun,

kujemui mereka, menyelami persekutuan sebagai gaya

hidup!

Kian bertabur

Menjamur!

Puisi “Pertemuan” seolah menyuarakan interaksi para penyair muda untuk menghasilkan kesilangan pandangan dan ketajaman pikiran sehingga terciptalah imaji yang bertabrakan, berloncatan, dan ekspresif. Ya, Ruang Sastra Gresik menyalakan makna dan jiwa.

Daftar Bacaan

Dukut Iman Widodo dkk (2004), Grissee Tempo Doeloe, Gresik: Pemerintah Kabupaten Gresik.

Figuran Triyoga dkk (2018), Membingkai Rembulan, Lamongan: Pagan Press.

L. Machali dkk (2017), Dalam Doa yang Tak Pernah selesai, Lamongan: Pagan Press.

 

Rekomendasi Berita

Advertisement

Terpopuler

spot_img