Hari Nelayan Nasional, Walhi Jatim Singgung Kerusakan Ekosistem Laut Bawean

GresikSatu | Kondisi nelayan di Jawa Timur begitu memprihatinkan. Nelayan-nelayan kecil di wilayah tersebut harus menghadapi kenyataan pahit dengan aneka eksploitasi di pesisir dan laut, terutama di sektor ekstraktif.

Belum lagi, meningkatnya kerusakan mangrove hingga terumbu karang, karena alih fungsi, pencemaran sampai hancur dihantam lalu lintas kapal pengangkut batubara. Aktivitas itu seperti terjadi di Bawean dan Masalembu yang sampai sekarang tidak ada tindakan berarti dalam penegakkan hukum lingkungan.

Walhi Jatim juga menilai belum adanya perlindungan bagi nelayan tradisional, padatnya kapling industri ekstraktif migas sampai mineral lainnya. Selain itu keberadaan UU Nomor 6 Tahun 2023 dianggap untuk kepentingan proyek strategis nasional, pelonggaran izin minyak dan gas, serta alih fungsi kawasan pesisir untuk tambang yang semakin memiskinkan nelayan.

Direktur ED WALHI Jawa Timur Wahyu Eka Styawan melalui rilis peringatan Hari Nelayan Nasional mengungkapkan kondisi miris tersebut terekam dalam jumlah nelayan di Jawa Timur yang fluktuatif setiap tahun. Hal itu merujuk pada data KKP jumlah nelayan tangkap laut pada 2021 di Jawa Timur berjumlah 259.621 orang.

“Sementara jumlah nelayan perikanan tangkap berjumlah 291.200 orang. Angka ini terus bergeser tiap tahun, kemungkinan besar diakibatkan oleh banyaknya serapan kerja temporer di sektor perikanan,” ungkapnya, Kamis (6/4/2023).

Banyak nelayan yang beralih pekerjaan sampai menurun drastis pendapatannya karena turunnya izin legal dari pemerintah, eksploitasi massif yang perlahan meminggirkan nelayan dari teritorial laut.

“Pemerintah harus memberikan kebijakan realistis, dengan menghentikan pemberian izin baru dan mengevaluasi izin industri ekstraktif yang mencemari dan merubah topografi pesisir,” terangnya.

“Diperlukannya penetapan zona tangkap nelayan tradisional dan zona ekosistem esensial pesisir serta pulau-pulau kecil, seperti di wilayah Madura, sepanjang Pantura, Kepulauan Masalembu, Kangean dan Bawean,” imbuhnya.

Meningkatnya kerusakan mangrove hingga terumbu karang, diakibatkan alih fungsi, lalu lintas kapal pengangkut batubara merusak ekosistem laut seperti yang terjadi di Bawean dan Masalembu. Namun hingga kini tidak ada tindakan berarti dalam upaya penegakkan hukum lingkungan.

“Alih-alih berjaya, sektor maritim justru akan semakin mengkhawatirkan karena eksploitasi berlebihan,” pungkasnya. (ovi/aam)

Rekomendasi Berita

Advertisement

Gresik Gres