GresikSatu | Di tengah derasnya arus modernisasi, sebagian warga Gresik tetap setia menjaga tradisi leluhur. Salah satunya adalah jamasan keris, yaitu ritual membersihkan dan merawat keris pusaka yang dilakukan setahun sekali di bulan Suro.
Bagi para pelestari budaya, jamasan bukan hanya soal fisik keris, tetapi juga perawatan batin dan spiritual pemiliknya. Sebilah keris dipandang sebagai pusaka yang menyimpan doa, nilai filosofi, hingga energi positif dari leluhur.
Tradisi ini masih dilestarikan oleh Masngabehi Eko Sugianto Karyo Prasetyo, budayawan sekaligus MC berbahasa Jawa dari Desa Indro, Kecamatan Kebomas, Gresik. Ia rutin menggelar jamasan setiap tahun di kediamannya.
Pada tahun 2025, ritual dilaksanakan pada Minggu, 29 Juni. “Kenapa dipilih hari ini? Karena pada malam 1 Suro banyak warga Gresik yang pergi ke Solo untuk ikut tradisi di sana. Jadi kita pilih hari ini yang bertepatan dengan weton Tulang Wangi, Senin Pon. Harapannya yang hadir mendapat keselamatan,” ujarnya, Minggu (29/6/2025) kemarin.
Rangkaian jamasan dimulai sejak dini hari. Eko menyiapkan berbagai perlengkapan, antara lain air kelapa hijau (degan), bunga setaman dan telon, jeruk pecel, buah mengkudu, minyak cendana praton, serta air dari sumber mata air alami.
“Kenapa air jamasan disiapkan jam 4 pagi? Karena semua unsur seperti degan, bunga, dan mengkudu perlu menyatu dulu. Jadi pas digunakan, energinya sejalan,” jelasnya.
Air kembang juga disiapkan untuk siraman tamu. Siraman ini dipercaya mampu membuka aura dan membuang energi negatif.
Usai selametan dan doa bersama, keris direndam semalam suntuk. Esoknya diperiksa dan disikat perlahan jika ada kotoran. Setelah itu, keris dikeringkan tanpa dijemur matahari langsung, lalu diasapi dupa, dilumuri warangan, dan kembali diasapi.
“Pamor atau wajah keris bisa mempengaruhi pemiliknya. Setelah jamasan biasanya wajah mereka tampak berseri,” katanya.
Masngabehi Eko menyimpan beberapa keris dari zaman Mataram hingga Majapahit. Menurutnya, keris yang tidak dirawat hanya dianggap benda. Tapi keris yang dijamasi dan dihormati disebut pusaka.
“Pusaka yang terjaga bisa berdampak positif pada pemilik. Bisa membawa ketenangan, membuka aura bahagia, dan menjauhkan dari sifat pemarah,” tuturnya.
Tradisi jamasan hanya dilakukan setahun sekali, tapi memiliki makna mendalam.
“Ini cara kita menghormati dan merawat warisan leluhur. Karena pusaka bukan sekadar benda, tapi juga mengandung doa dan niat kebaikan,” pungkasnya.