GresikSatu | Talo atau yang dikenal dengan Tale Olo adalah ikat kepala khas Pulau Bawean, Kabupaten Gresik. Tidak sekadar pelengkap busana, Talo menjadi simbol kehormatan dan identitas budaya masyarakat Bawean yang sarat makna spiritual dan filosofis.
Ikat kepala ini biasa dikenakan oleh para pendekar atau dipasangkan kepada tamu kehormatan dan pejabat yang datang ke Bawean. Bahannya berasal dari kain batik khas Bawean yang dibuat langsung oleh santri Pesantren Nasy’atul Barokah (Penaber), Dusun Paginda, Desa Sukaoneng, Kecamatan Tambak, Pulau Bawean.
Pengasuh Pesantren Penaber, Kiai Musthofa, menjelaskan bahwa Talo bukan hanya penutup kepala biasa. Ia adalah perwujudan dari petuah falsafah kehidupan masyarakat Bawean yang diwariskan turun-temurun oleh leluhur.
“Asal usul Talo ini berangkat dari petuah falsafah leluhur kami: Ajjek Mokak Sewek Mon Ghitak Ngoker Langek, Ajjhek Ngoker Langek Mon Ghitak Cokop Elmona, yang berarti ‘Jangan menikah kalau belum mengukir langit, dan jangan mengukir langit kalau belum cukup ilmunya’,” jelas Kiai Musthofa, Minggu (1/6/2025).
Menurutnya, petuah itu menekankan kesiapan lahir dan batin, serta pentingnya ilmu sebelum menjalani kehidupan. Makna itu kemudian dituangkan dalam bentuk Talo yang dikenakan di kepala, sebagai pengingat sekaligus peneguhan karakter.
“Sudut paling atas permukaan Talo mengandung nilai ketauhidan, bagaimana kita mengesakan Allah SWT. Sedangkan sudut depan yang merunduk ke bawah mencerminkan manusia yang terus menunduk, tunduk di bawah kekuasaan Allah,” ujarnya.
Motif batik pada Talo juga memiliki arti yang dalam. Terdapat bentuk-bentuk seperti tanduk rusa dan bunga sentigi, yang mencerminkan kesadaran masyarakat Bawean terhadap pentingnya menjaga kelestarian alam, khususnya flora dan fauna lokal.
“Ujung ikatan Talo mengikat ke kanan atas dan kiri bawah. Kita maknai tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Artinya, nilai sosial seperti memberi dan saling membantu menjadi bagian penting dalam hidup orang Bawean,” tambahnya.
Lebih jauh, Kiai Musthofa menyebut bahwa Talo biasanya dikenakan oleh para pendekar, sebagai lambang kesiapan lahir dan batin dalam menghadapi kehidupan. Di dalamnya mengandung ajaran agama, syariat, dan nilai-nilai bela diri.
“Talo itu bukan sekadar hiasan. Ia adalah pesan moral. Setiap kali kita melihatnya, seperti ada yang mengingatkan kita untuk tetap menjaga karakter dan sikap yang sesuai dengan nilai-nilai Bawean,” tandasnya.
Hal serupa disampaikan tokoh masyarakat Bawean, Ahen. Ia mengatakan, secara visual Talo memiliki ciri khas warna dasar hitam dan corak batik berwarna kuning yang penuh filosofi.
“Warna dasar hitam itu melambangkan pengosongan hati dari sifat buruk dan hal duniawi. Sedangkan warna kuning menggambarkan optimisme, kesejahteraan, kewibawaan, dan kebijaksanaan,” tutur Ahen.
Ia menjelaskan, bentuk Talo terdiri dari dua sudut atau bhuco. Satu sudut tegak ke atas setinggi sekitar 17 cm melambangkan keesaan Allah dan jumlah rakaat salat dalam sehari semalam. Sedangkan satu sudut lainnya menunduk ke bawah setinggi sekitar 13 cm yang mencerminkan kerendahan hati dan mewakili 13 rukun salat.
“Di bagian belakang kepala, ada tiga lilitan tali ikatan. Itu menyimbolkan tiga rukun agama Islam, yaitu Islam, Iman, dan Ihsan,” terangnya.
Ahen menambahkan, selain sebagai simbol kultural dan spiritual, Talo juga berfungsi sebagai tanda penghormatan. Biasanya dikenakan atau diberikan kepada tamu penting sebagai bentuk penghargaan dari masyarakat Bawean.
“Secara keseluruhan, Talo adalah simbol kehormatan kepala. Ia mengikat pikiran agar tetap berada dalam bingkai ajaran agama dan adat. Ini adalah warisan budaya Bawean yang sarat makna,” pungkasnya.