Pembacaan Puisi Secara “Nguping”

Puisi bisa kita anggap sebagai seni permainan berbahasa. Meski begitu, makna puisi yang terlihat jelas boleh kita tangkap langsung. Puisi penuh bahasa akrobatik juga boleh kita nikmati tanpa perlu mengerutkan jidat. Penyair tidak perlu ambil pusing andai tujuan puisinya berbeda arah dari jalur pembaca. Cuma kita butuh rambu-rambu andai ingin tahu bagaimana hubungan penyair dengan bahasanya.

Seni permainan berbahasa dapat kita rujuk pada pandangan Sapardi Djoko Damono tentang bagaimana pembaca perlu “nguping” tentang pikiran dan perasaan penyair dalam taraf berbahasa yang melahirkan makna tertentu. Artinya kita perlu awas menyadap makna ketika membaca puisi karya penyair. Dengan kata lain: “Penyair, pada hemat saya, adalah manusia yang telah jatuh cinta kepada bahasa dan karenanya bisa kadang bertengkar kadang bermesraan dengan kata. Kita, pembaca boleh mendengarkan pertengkaran atau ‘nguping’ percintaannya dengan bahasa. Kalaupun ia dianggap berjasa, maka jasanya ‘hanya’ pada bahasanya, yakni pada kenyataan bahwa ia telah berusaha terus-menerus untuk menyegarkan bahasanya.” (“Bilang Begini, Maksudnya Begitu”, 2014)

Baca Juga : Kammari di Rumah Praktik

Perihal pembacaan puisi secara “nguping” bisa kita tengok pada cara dua kritikus menghadapi buku puisi karya Lenon Machali (1953-2016) –salah satu penyair Gresik–, yaitu: Suminto A. Sayuti yang menulis prolog buku “Pesisir Sang Kekasih” (2012); dan Faruk Tripoli yang menulis epilog buku “Hujan Pertama” (2018).

Lenon Machali dengan satu puisinya
Gambar: Aji (2022)

Pesisir

“Pesisir Sang Kekasih” merupakan buku pertama Lenon Machali. Puisi-puisi yang ditulisnya sekitar dari tahun 1978 hingga 1999. Kita mencatat puisi yang tersaji lebih banyak ditulisnya di Gresik. Selain itu, puisi tanpa menuliskan tempat penciptaan juga banyak tersaji. Pasuruan, Kertasura-Sragen, Solo, dan Surabaya menjadi beberapa tempat penciptaan puisinya.

Lenon Machali dalam Pengantar Penulis menuliskan bahwa “Pesisir Sang Kekasih” adalah puisi-puisi yang terlambat dibukukan. Dia menulis permintaan maaf kepada kita jika terganggu pada tahun penciptaannya. Kita bersyukur mengetahui rekan dan keluarga yang berupaya mendorong dia untuk membukukan puisi-puisinya. Sebuah alasan meyakinkan dia: “Bukankah puisi tidak selesai dibaca hari ini, besok lusa, setahun atau kapan saja? Alih-alih, puisi dapat menarik dibaca pada waktu tak terduga.”

Puisi memang tidak harus kita baca sekilas. Terkadang kita penasaran apa maksud yang disembunyikan penyair sehingga butuh pembacaan berulang kali. Apalagi “Pesisir Sang Kekasih” akan lebih terasa ketika kita baca dalam hati. Justru kita sulit menemukan puisi dalam “Pesisir Sang Kekasih” yang berapi-api.

Baca Juga : Senja Jingga Cafe, Oase Kesenian di Gresik

Hampir senada ditemukan Suminto A. Sayuti: “Puisi-puisi dalam antologi ini memang sarat permenungan, yakni permenungan di, dari, dan dalam ‘negeri penuh kata-kata’ ciptaan penyair Lenon Machali. Itulah sebabnya, ‘Sebaiknya kau dan aku/ Memasuki serambi/ Ruang mengeja’ (puisi ‘Tamu’) untuk ‘Membuka dan membaca/ Puisi-puisi pengganti cinta’ (puisi ‘Swalayan’). Agar kita menjadi sadar bahwa ‘Antara masjid dan rumah bersalin/ Melingkar jalan bermain/ Kembali ke asal’ (puisi ‘Seribu Lebih’).”

Kita membayangkan kata “permenungan” adalah aktivitas berdiam diri sembari berpikir sesuatu. Kita jadi mafhum kenapa puisi dalam “Pesisir Sang Kekasih” seolah membekukan peristiwa untuk pijakan permenungan: “//Kucerna lagu Daud, ketika TV usai siaran/ Dan malam menjadi milik serangga bersahaja/ Mata menyala, dedaunan basah, membiaki isi/ Seluruh rumah lebah//” (puisi “Lompongan”) atau “//Kau sedang bertaruh/ Membuka sumber air/ Penuh keyakinan/ Sebatas ingatan//” (puisi “Penggali Sumur”). Akibat permenungan, barangkali “Pesisir Sang Kekasih” dalam anggapan Suminto A. Sayuti mengandung sunyi.

“… Puisi-puisi Lenon adalah ‘puisi sunyi’. Dan dalam sunyi itulah makna bergaung. Bukankah bunyi-bunyi indah dalam puisi, baik yang berupa irama maupun persajakan, semuanya akan berujung pada sunyi? Itulah sebabnya berbagai peristiwa keseharian…”

Kutipan Suminto A. Sayuti di atas seolah menggariskan bahwa puisi dalam “Pesisir Sang Kekasih” jadi jeda. Pembacaan “Pesisir Sang Kekasih” perlu siap berhenti sehingga kita perlu ketenangan diri agar kembali bergerak melangkah ke depan atau memutar. Lalu bergerak ke mana?

Kutipan Suminto A. Sayuti berlanjut: “… tampak bahwa Lenon selalu berupaya untuk masuk dalam proses transendensi. Akibatnya, peristiwa-peristiwa dan objek inderawi dalam puisi-puisinya pun bergerak menuju tataran yang lebih jiwani. Pembaca pun dilibatkan dalam proses pemaknaan peristiwa atau objek semacam itu.”

Kita merasa Suminto A. Sayuti berani mengungkap “Pesisir Sang Kekasih” begitu bulat bergerak “untuk masuk dalam proses transendensi”. Kita kembali menangkap pembacaan Suminto A. Sayuti. Kita jadi teringat pada salah satu penggalan puisi dalam “Pesisir Sang Kekasih”: “//Sebelum sempat mereka berkaca/ Aku kirim sehelai makna/ Udara dan Cakrawala/ Di wajahnya/ Bau melati/ Putih//” (puisi “Surat Musim”).

Lenon Machali (1953-2016)
Gambar: Aji (2022)

Hujan

“Hujan Pertama” menjadi buku lain Lenon Machali. Buku yang digagas oleh anak-anak didik Lenon Machali ini terbit setelah dua tahun kepergiannya. Disunting dan diselia oleh penyair Abizar Purnama, “Hujan Pertama” menghimpun puisi-puisi Lenon Machali dari periode sebelum 1989, periode 1989, periode 1990, periode 1991, periode 1992, dan periode 1993. Hampir semua puisi setiap periode (kecuali puisi “Banyu Biru”) tidak tertulis tempat penciptaan puisinya.

Kita mendapati “Hujan Pertama” diberi epilog oleh Faruk Tripoli. Kita membaca bagaimana Faruk Tripoli menjelaskan tentang kata “Hujan” yang berhubungan dari zaman ke zaman dan memiliki dua makna: berkah atau bencana. Kita jadi berpikir tentang bagaimana pembacaan puisi bertema hujan dapat tertabrak ke dua makna tersebut.

Faruk Tripoli menulis: “Meskipun ia melihat hujan lebih sebagai hikmah, sebagian kebijakan, dan juga kebaikan, tapi ia juga sebenarnya menggambarkan penderitaan. Apa yang disebutnya sebagai kebijakan tidak lain dari justru kemampuan untuk menahan diri, menghapus jejak kerinduan dan mungkin juga birahi”.

Dalam epilog “Hujan Pertama”, Faruk Tripoli hanya membahas satu puisi, yaitu puisi ‘Hujan Pertama’. Kita bisa menduga-duga apakah satu puisi dapat dijadikan acuan untuk pembacaan puisi-puisi lainnya. Atau puisi ‘Hujan Pertama’ hanya perwakilan saja dari banyaknya puisi. Jelasnya kita menghargai pemaknaan Faruk Tripoli. Sebelum berlanjut, kita baca dulu puisi ‘Hujan Pertama’: “//Kujawab teka-teki langit/ di atas kotaku kian kelabu/ karena asap menahan berat/ maka napas pun kian sesak/ inilah mata air mata kita// Sejurus pula/ tiap setetes di kepala/ beku meraksa//”.

Pemaknaan puisi oleh Faruk Tripoli: “Dengan kata lain, puisi ini telah menghadirkan dua efek perasaan yang berbeda dari hujan pertama: rasa sakit akibat pukulan dan rasa sakit akibat terbakar.”

Sebagai penutup tulisan, kita bisa mengutip salah satu penggalan puisi dari “Hujan Pertama”: //Kuda yang terliar mengepang/ temali rantas jadi sulur/ tujuh kobar terlampaui/ kuda yang sejati,//” (puisi“Kuda Magrib”).

Demikianlah pembacaan puisi secara “nguping” yang dapat ditulis, dan barangkali pembaca lain bisa melakukan pembacaan sendiri terhadap dua buku tersebut. Atau pada buku-buku puisi yang lain. Tabik.

 

Catatan: Kolom Sastra GresikSatu diasuh oleh penyair dan penikmat seni rupa Aji Saiful Ramadhan yang tinggal di Gresik.

 

Daftar Bacaan

Lenon Machali (2012), “Pesisir Sang Kekasih”, Yogyakarta: Kampong Pesisir

Lenon Machali (2018), “Hujan Pertama”, Lamongan: Pagan Press

Sapardi Djoko Damono (2014), “Bilang Begini, Maksudnya Begitu”, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Rekomendasi Berita

Advertisement

Gresik Gres