GresikSatu | Fenomena pergaulan bebas di kalangan remaja kembali menjadi perhatian serius di Gresik, kota yang lekat dengan julukan Kota Santri.
Minimnya perhatian orang tua, lemahnya komunikasi dalam keluarga, serta pengaruh lingkungan negatif, disebut sebagai faktor dominan yang memicu perilaku menyimpang tersebut.
Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) Nyai Ageng Pinatih Gresik mencatat, sepanjang tahun 2025, terjadi peningkatan signifikan kasus-kasus remaja, khususnya yang terkait pergaulan bebas.
Ketua LK3 Gresik, Shofiyah, mengungkapkan bahwa pihaknya menerima sebanyak 30 kasus selama tahun ini. Rinciannya meliputi 12 kasus psikologi, 1 kasus pendidikan, 6 kasus ekonomi, 1 kasus hukum, dan 10 kasus keluarga.
“Rata-rata, kasus pergaulan bebas yang terjadi berangkat dari masalah psikologis dan kondisi keluarga. Banyak remaja merasa kecewa dengan keadaan rumah tangganya, merasa tidak diperhatikan, dan akhirnya mencari pelarian di luar rumah,” terang Shofiyah, jumat (2/5/2025).
Ia menambahkan, kasus tersebut bahkan menimpa anak-anak usia SMP yang baru menginjak usia 13 tahun. Meski belum sampai pada kehamilan, dampak psikologis dari keterlibatan dalam pergaulan bebas dinilai sudah cukup mengkhawatirkan.
“Kalau tahun lalu didominasi kasus bullying, tahun ini justru pergaulan bebas yang paling banyak. Ini alarm keras bagi semua pihak agar lebih intens dalam memperhatikan kondisi remaja,” imbuhnya.
Selain itu, paparan konten pornografi di internet turut memperburuk kondisi mental remaja. Banyak dari mereka mengalami stres dan depresi akibat konsumsi konten-konten negatif tersebut.
Guna merespons kondisi ini, LK3 Gresik memperkuat sinergi dengan sekolah-sekolah, termasuk pondok pesantren, dalam melakukan pendampingan terhadap para siswa. Menurut Shofiyah, keberadaan guru Bimbingan Konseling (BK) saja belum cukup.
“Guru BK sudah berusaha maksimal, tapi mereka kewalahan karena jumlah siswa sangat banyak. Karena itu kami dari LK3 siap turun tangan memberikan pendampingan lebih intensif,” jelasnya.
Di sisi lain, Shofiyah juga menyoroti pentingnya peran orang tua. Ia mengajak agar orang tua mulai membangun komunikasi yang terbuka dengan anak, menjadi teman diskusi, serta memberikan pemahaman tentang batasan pergaulan dan risiko perilaku menyimpang.
“Kita semua bertanggung jawab menciptakan lingkungan yang sehat, aman, dan penuh kasih untuk anak-anak kita,” tegasnya.
Berdasarkan data historis yang dimiliki LK3 Nyai Ageng Pinatih, tren jumlah kasus konsultasi yang diterima mengalami fluktuasi. Pada tahun 2009 hanya ada dua kasus, namun melonjak drastis menjadi 123 kasus pada 2017.
Kemudian jumlahnya menurun menjadi 42 kasus pada 2020, naik lagi menjadi 67 kasus di 2021, dan 68 kasus pada 2022. Sementara di 2023 tercatat 52 kasus, dan kembali naik menjadi 68 kasus pada 2024.