Saya membuka Facebook. Saya tertarik poster yang diunggah oleh akun Akhmad Yoni Risal. Poster itu menginformasikan tentang Art Exhibition: Angkat, Goreng, Pamerkan di Senja Jingga Art Space (Gresik),10 s.d. 25 Desember 2021.
Art Exhibition: Angkat, Goreng, Pamerkan digelar oleh Power Art. Power Art merupakan komunitas seni rupa pelajar SMA Muhammadiyah 1 Gresik. Ternyata musim pandemi Covid-19 tidak menyurutkan Power Art untuk berproses dan memamerkan karyanya.
Sebelum ke ruang pameran, saya membaca baner berisi tulisan (semacam pengantar) dengan judul Militansi Berproses “Angkat, Goreng, Pamerkan”.
Yang pada paragraf ketiganya diurai: “Maka, pendek kata, belajar dan berkarya sesungguhnya bagaikan sisi mata uang yang saling melengkapi. Belajar adalah takdir eksistensi keberadaan manusia, sedangkan mencipta-berkarya takdir manusia yang lainnya. Betapa kedua hal tersebut berkaitan dengan kesadaran terhadap kemungkinan-kemungkinan, yang kemudian terhubung dengan kebebasan dan otentisitas manusia.”
Gambaran
Ada gambaran ganjil ketika saya menelisik satu karya perupa yang berjudul Pithunjuk Dalan. Dalam karya ini tergambar tokoh punakawan. Anehnya, sosok tokoh-tokoh punakawan itu digambarkan tidak semestinya. Misal, Gareng memiliki tatto dan memegang rokok; Petruk memegang botol (mungkin minuman keras); serta Bagong memiliki tatto dan memegang celurit. Gambaran ganjil tersebut memberikan pemaknaan kepada saya mengenai faktor kenakalan dalam jenjang pendidikan.
Pada akhirnya, tiga anak Semar menginginkan tobat sesuai deskripsi Pithunjuk Dalan yang tertulis: Tiga bocah yang mencari jalan lurus dengan berguru ke Semar. Dan Semar pada Pithunjuk Dalan mengasosiasikan kepada saya sebagai simbol kebijakan bagi tiga anak semar yang berusaha menemukan jati diri masing-masing.
Persoalan sosial juga terasa pada karya Galuh Kirana berjudul The Beast and the Harlot yang menggambarkan seorang perempuan memakai kerudung dan topeng tanpa lubang mata sedang diapit oleh dua makhluk (tanpa leher). Meski tanpa leher, dua makhluk memiliki kepala seperti tengkorak kambing, bertaring panjang, dan tanpa rahang.
Kalau kita meng-indonesia-kan judul The Beast and the Harlot bisa berarti Hewan Buas dan „Perempuan Nakal‟. Barangkali Galuh Kirana ingin memberikan pemahamannya kepada penikmat seni rupa tentang keterpaksaan perempuan menjadi gelap mata. Saya juga membayangkan gambaran dua makhluk pada The Beast and the Harlot adalah iblis yang berhasil menperdaya perempuan ketika mengalami kondisi sulit. The Beast and the Harlot meletupkan rasa empati kepada saya untuk tidak mudah menghakimi seseorang dan harus mengasihi sesama.
Berikutnya pada karya Faza FZ juga menawarkan persoalan sosial lewat Freedom of Speech yang menggambarkan seseorang menyerupai badut (dipertegas dengan tulisan clown di kanvas). Saya sebenarnya tidak seberapa yakin bahwa Faza FZ menggambar badut karena tata riasnya kurang meriah.
Jika saya hubungkan dengan pemberian judul Freedom of Speech barangkali Faza FZ ingin memberikan kritik kepada semua orang bahwa manusia harus menjaga lisannya. Hal ini saya maknai karena setiap manusia memiliki aibnya masing-masing sehingga dapat menjadi bahan tertawaan bagi sesamanya.
Oleh karena itu, seseorang pada Freedom of Speech digambarkan Faza FZ memiliki bibir terjahit dan bersilinder kunci. Beruntung Faza FZ tidak menggambarkan kunci sehingga seseorang pada Freedom of Speech dapat menahan godaan dari kotak kejutan.
Tiga nama perupa dari Power Art yang saya sebutkan di atas hanyalah contoh bagaimana karya- karya mereka terasa menghadirkan persoalan sosial. Tapi bisa jadi apa yang dirasakan penikmat seni rupa yang lain dapat berbeda pandangan dalam menikmati Art Exhibition: Angkat, Goreng, Pamerkan.
Penulis : Aji Saiful Ramadhan