Penulis : Aji Saiful Ramadhan
Kabupaten Gresik berada di pesisir. Salah satu pesisirnya berada di Kelurahan Lumpur,
Kecamatan Gresik. Di pesisir Kurahan Lumpur dapat saya temui beberapa model perahu. Ada
yang model dari Madura dan juga model dari Kelurahan Lumpur sendiri.
Model dari Kelurahan Lumpur disebut dengan nama perahu Canthik. Menurut beberapa nelayan, perahu Canthik ini sudah jarang ditemui lagi. Di samping berkurangnya perajin, juga pembuatannya cukup mahal.
Yang menarik, perahu Canthik memiliki beberapa warna dan ornamen yang khas. Yang kini mulai langka untuk ditemui.
Warna dan Ornamen
Sekilas perahu Canthik hampir sama dengan perahu-perahu lain yang ada di pesisir karena
memakai warna “ngejreng‟: merah, kuning, hijau, putih, dan biru. Barangkali warna “ngejreng‟ digunakan agar perahu lebih mudah terlihat di laut.
Selain itu, warna „ngejreng‟ bisa saya duga menjadi tanda atau lambang identitas masyarakat pesisir yang memiliki watak terbuka. Mengutip pendapat Dharsono Sony Kartika dan Hj. Sunarmi (Estetika Seni Rupa Nusantara, 2007:104), bahwa warna merupakan lambang atau melambangkan sesuatu yang merupakan tradisi atau pola umum.
Ada empat ornamennya, yaitu: “canthik‟, “bejanggan”, “topeng” dan “gajah-gajahan”. Empat ornamen tersebut menjadi kekhasan perahu Chantik yang tidak dimiliki perahu lain
Untuk mengetahui apa pengertian empat ornamen itu, saya mengutip pendapat Mardi Luhung (Grissee Tempo Doeloe, 2004:188-189), yaitu: ‟Canthik‟ adalah ornamen yang paling bawah dan menjorok ke depan atau belakang. Jadi semacam taji atau sirip ikan yang muncul dari bawah perahu. “Bejanggan‟ adalah tempat menyimpan cagak layar ketika digulung. “Topeng‟ adalah ornamen depan perahu. “Gajahgajahan‟ adalah ornamen pada lambung kanan-kiri perahu.
Motif Bunga dari Perkuliahan 2013
Sekitar tahun 2013, di ruang perkuliahan kelas mata kuliah Estetika Nusantara di ISI Surakarta, saya mempresentasikan estetika perahu Canthik. Dosen pengampu memberikan pertanyaan yang masih membekas di ingatan: “Jenis bunga apa yang ada di „bejanggan‟ dan „topeng‟? Apakah
hasil imajinasi ataukah jenis bunga tertentu?”
Pertanyaan itu begitu sulit saya jawab. Sebab, imajinasi tidak bisa hadir secara tiba-tiba kecuali tersentuh realita.
Setelah itu, saya hanya bisa menduga, melihat bunga di “bejanggan‟ dan “topeng‟, ternyata
memiliki empat kelopak. Saya pun hanya bisa menghubung-paksakan pada bunga Kamboja
berkelopak empat yang memiliki harapan mendatangkan rezeki.
Saya masih merasa aneh kenapa bukan hal-hal dari lautan yang menjadi motif di “bejanggan‟ dan “topeng‟. Tapi perasaan saya ini haruslah dibuang. Bisa saja motif bunga di “bejanggan‟ dan “topeng‟ memiliki nilai-nilai luhur. Dan saya mesti menelitinya lebih lanjut.
Daftar Bacaan
Dharsono Soni Kartika dan Hj. Sunarmi (2007), Estetika Seni Rupa Nusantara, Surakarta: ISI
Press Solo.
Mardi Luhung dalam Dukut Iman Widodo dkk (2004), Grissee Tempo Doeloe, Gresik:
Pemerintah Kabupaten Gresik.