Pertahankan Warisan Leluhur, Warga Kampung Gunungteguh Bawean Hasilkan Kerajinan Anyaman Tikar Tradisional 

GresikSatu | Ada banyak warisan leluhur yang terus eksis dan dilestarikan oleh warga Bawean, Kabupaten Gresik. Salah satunya anyaman tikar tradisional. Bahkan, kerajinan yang terbuat dari daun pandan duri ini, sudah berinovasi serta modifikasi dari bahan jenis tumbuhan tersebut.

Pusat kerajinan anyaman tikar tradisional itu berada di Desa Gunungteguh, Kecamatan Sangkapura, Pulau Bawean. Menariknya, di kampung ini mayoritas ibu rumah tangga melakukan kerajinan tersebut.

Setelah membuat olahan anyaman menjadi tikar, semua hasil kerajinan warga dikumpulkan dan dijual di UMKM Teguh Karya. Dari UMKM tersebut, hingga saat ini desa yang berada dibawa bukit Malokok Bawean itu, dikenal dengan kampung pengrajin tikar tradisional.

Pengelola UMKM Teguh Karya, Nurul Huda menceritakan, perjalanan kerajinan warisan leluhur ini, tidak lepas dari kiprah turun temurun keluarganya. Mulanya, di kampungnya hanya sebatas membuat anyaman tikar saja.

Sekitar tahun 1980 desa itu mendapatkan kunjungan dari pemerintah kabupaten, untuk dilakukan pembinaan. Hingga sebagian warga tidak hanya membuat tikar, tapi juga membuat kerajinan tas dari daun pandan.

“Tepat di tahun 1992, UMKM Teguh Karya mulai dirintis. Saat itu ada tokoh masyarakat Bawean Zulfan Hasyim. Membuat kelompok di UMKM ini dari program agrobisnis. Warga diberikan pelatihan kerajinan tikar beserta modifikasi anyaman, selama satu minggu di Bawean, dengan didatangkan pelatih dari Tasikmalaya,” ucapnya, Minggu (9/4/2023).

Hingga saat ini, kerajinan UMKM Teguh Karya ini sudah mengikuti beberapa pameran di Surabaya dan Gresik. Untuk pembelinya, perempuan yang dikaruniai empat anak ini, menyebut paling banyak datang dari Gresik, Surabaya dan Jakarta.

“Kami belum berminat untuk ke pasar online, karena takut mengecewakan pembeli saat kualitas tidak sesuai dengan gambar tampilannya. Makanya, rata-rata pembeli pariwisata datang dibawa ke Malaysia dan Singapura. Kalau pemesanan dari dua negara itu belum ada,” ujarnya.

Dijelaskan, yang membedakan hasil dari kerajinan tikar di Bawean dengan daerah Tasikmalaya, dan Yogyakarta, adalah dari pewarnaan, dan halusnya pandan yang sudah diwarnai. Untuk model dan modifikasi masih kalah dengan Tasikmalaya dan Yogyakarta.

“Makanya menggunakan daun pandan berduri. Jika menggunakan pandan tidak berduri tidak mengkilat warnanya,” jelasnya.

Diakuinya, kerajinan tikar tradisional, dan barang lainnya dari daun pandan berduri ini memang terkendala alat dan pemasaran.

“Kalau alat hanya sebatas mesin jahit. Itu pun baru-baru ini, karena sebelumnya manual anayaman manual dijahit dengan tangan. Padahal, sebenarnya ada mesin khusus, tapi kami belum ada. Selama ini, hanya sebatas suntikan dana dari Pemdes, dan tidak pernah sama sekali dari Pemerintah Kabupaten,” jelasnya.

Kedepan, jika nanti sudah ada alat khusus untuk dibuat kerajinan ini, tentu dibutuhkan pembinaan dan pelatihan kepada warga atau pengrajin di Desa Gunungteguh. Sekaligus ada pembeli yang secara konsisten atau kerja sama dengan toko modern membeli hasil kerajinan tersebut.

“Dengan begitu, kerajinan bisa menghasilkan tiga kali lipat dengan alat yang khusus, dan SDM yang unggul,” tuturnya.

Untuk tikar, Nurul sapaan akrabnya mematok harga Rp 150 sampai 600 ribu, untuk tas mulai harga Rp 60 ribu sampai Rp 170 ribu, kopyah dan udeng Rp 50 ribu, tempat tisu Rp 50 ribu, dan dompet mulai harga 25 sampai 50 ribu, tergantung besar kecilnya.

Salah satu pengrajin tikar tradisional Desa Gunungteguh Yundriana mengaku bisa membuat tikar kecil dalam kurun waktu dua hari. Begitu juga dengan barang lainnya dari daun pandan.

“Kalau tikar besar bisa sampai seminggu membuatnya. Karena memang prosesnya tidak mudah. Mulai memotong kecil-kecil bagian daun, menghilangkan duri, mengeringkan, memberikan pewarna hingga melakukan anyaman sampai menjadi tikar,” jelas perempuan usia 42 tahun itu. (faiz/aam)

Rekomendasi Berita

Advertisement

Gresik Gres