Membaca Karya Nurillah Ahmad, Penulis Cerpen Kesetaraan Perempuan di Gresik 

GresikSatu | Buku kumpulan cerpen residensi literatur, telah dilaunching oleh Yayasan Gang Sebelah Gresik. Dalam buku yang berjudul Tinutur hasil kerja sama Yayasan Gang Sebelah dan Kemendikbudristek, ada 18 penulis yang terpilih.

Diantara 18 penulis itu, ada nilai cerita epik yang disampaikan. Salah satunya, hasil tulisan dari salah satu peserta residensi yang terpilih, Nurillah Achmad.

Perempuan usia 30 tahun asal Jember ini, menulis tentang sosio-kultural bagaimana kehidupan perempuan petani tembakau di Jember dan Nelayan Perempuan di Gresik, mempunyai kesamaan dalam bekerja.

“Perempuan kerap kali tidak mendapatkan hak istimewa untuk bekerja. Selalu diremehkan oleh kaum adam, apalagi sebagai buruh tembakau seperti perempuan di Jember dan nelayan perempuan di Gresik,” ungkapnya, Jum’at (8/12/2023).

Dalam tulisannya yang diberi judul “Mungkin Nanti, Tanah Tenggara dan Bandar Grisse di Pesisir Utara Tak Lagi Ada”. Nuril menyampaikan dua fragmen sisi kehidupan masyarakat yang menghadapi kehidupan sosial budaya dan infrastruktur. Satu sisi fragmen kesetaraan perempuan, dan sisi infrastruktur pembangunan pabrik di pesisir pantai dan lahan pertanian warga.

Baca juga:  Malam Puncak Literatur 2023, Refleksi Membangun Peradaban Gresik

“Dalam tulisan itu, perempuan buruh tani di Jember mempertahankan rumahnya untuk tidak dibeli investor. Sedangkan Nelayan di Gresik mempertaruhkan profesinya dengan tetap melaut, meskipun salah satu perusahaan besar di pesisir Lumpur sudah dibangun reklamasi. Tentu untuk mencari ikan, harus menjauh ke perairan perbatasan antara Gresik dan Pulau Madura,” paparnya.

Kedua tokoh perempuan di tulisan tersebut lanjut dia, mempunyai nilai kritikan yang sama tentang ekologi lingkungan, yang terjadi di Jember maupun di Gresik.

Dalam cerpennya, Nurillah membuka tulisannya, Ketahuilah, Alinda, ini surat terakhirku untukmu. Bila ada waktu, bacalah di ujung dermaga Geladak Gede sembari memandang tongkang kapal yang tengah mengangkut batu bara, atau saat kau merutuki kapal curah Vietnam yang membawa ribuan ton amoniak hingga membuatmu berlayar jauh ke Madura.

Tak perlu engkau gusar bila nanti aku tak lagi berkirim kabar, sebab aku telah benamkan segala jarak pandang yang akan menjauhkan kita. Bahkan waktu, Alinda, aku telah memintanya bersetubuh denganmu, sebab waktu akan selalu perawan bagi mereka yang memiliki kehidupan. Tak seperti aku di sini. Untuk sekadar menuai benih di pekarangan, terasa betul ruh dalam tubuhku tercerabut meninggalkan tulang belulang lalu menetap di buluh talang.

Baca juga:  Malam Puncak Literatur 2023, Refleksi Membangun Peradaban Gresik

“Begitulah sekilas gambaran perempuan. Kadang perempuan sulit dalam ekonomi meskipun ia mau bekerja sepanjang hidup,”ujarnya.

Sisi lain, Nurillah dengan telaten mencatat dan memahami seluk beluk budaya masyarakat pesisir tradisional dan persentuhannya dengan industrialisasi.

Tulisan tersebut menyajikan gambaran ekologi dengan kacamata feminisme (nelayan perempuan) yang menyoroti keberadaan pabrik di pesisir dengan berbagai tantangan industri seperti reklamasi. Karena kerap kali industrialisasi tidak ramah terhadap mata pencaharian dan budaya masyarakat lokal.

“Nelayan perempuan perlu diangkat juga, mereka sangat peduli pada ekologi yang terdampak pabrik-pabrik di pesisir yang direklamasi. Jadi, soal ekologi ke reklamasi. Dan soal nelayan perempuannya. Jadi ekologi dan feminisme,” bebernya.

Dia bahkan tinggal langsung di Lumpur menyatu dengan kehidupan masyarakat sekitar (sebagai konsekuensi dari konsep Residensi) dalam proses melahirkan tulisannya. (faiz/aam)

Rekomendasi Berita

Advertisement

Terpopuler