Mengenal Diponggo: Desa Terpencil di Bawean yang Terpisah dari Dunia Digital

GresikSatu | Di era modern yang didominasi oleh konektivitas digital, ternyata ada sebuah desa terpencil yang tetap mempertahankan keasliannya. Desa itu namanya Diponggo, sebuah desa kecil yang terletak di pulau Bawean Gresik, Jawa Timur.

Desa yang terletak di Kecamatan Tambak Kabupaten Gresik ini, telah menjaga tradisi hidup tanpa sinyal selama bertahun-tahun. Desa ini menjadi tempat tinggal bagi sekitar 1,2 ribu warga yang memilih hidup jauh dari keramaian kota dan terpisah sepenuhnya dari dunia digital.

Desa ini sebenarnya secara akses tidak terlalu jauh dari kecamatan. Karena desa ini masuk dalam jalan lingkar Bawean. Namun pesona alam desa ini, mampu menghipnotis para pengunjung. Terdapat pengunungan di wilayah selatan dan laut di wilayah utara. Sedang di tengah-tenganya perkampungan padat penduduk.

Tanpa sinyal internet, warga Diponggo masih mengandalkan cara komunikasi tradisional seperti pengumuman di balai desa, atau bertemu langsung secara tatap muka. Selain terpisah dari dunia digital warga juga lebih fokus untuk menghabiskan waktu di perkebunan dan lautan.

Kades Diponggo M Salim mengatakan, kondisi desa yang terisolir dari sinyal membuat mayoritas warga kesusahan mendapatkan informasi. Pasalnya, banyak warga setempat punya kerabat keluarga, yang merantau ke luar daerah maupun luar negeri. 

“Alternatif sementara warga pun memasang wifi dari pihak swasta di Bawean. Dengan sambungan kabel paralel. Itu pun kadang sering trobel karena jaringannya tidak kuat,” ucapnya, Rabu (31/5/2023). 

Menurut M Salim, beberapa di antara mereka mengunjungi desa-desa terdekat untuk mencoba akses internet atau menggunakan telepon seluler untuk terhubung dengan teman di luar desa. Seperti Desa Tanjungori, dekat Bandara Harun Tohir. Atau juga ke sisi timur Desa Kepuhteluk. 

“Tak bisa dipungkiri semuanya butuh jaringan sinyal. Terkadang kita ketinggalan informasi. Bahkan untuk mengurus input data PKH saja, petugas harus ke desa sebelah dulu supaya jaringannya stabil,” tuturnya.

Imbasnya lagi, dia beserta perangkat hingga warga setempat sering juga ganti nomor kontak. Sebab, karena di desa hanya mengandalkan wifi kabel. Saat keluar desa, kartu perdana sudah berakhir masa aktifnya.

“Begitu juga dengan laporan kerja yang harus dilakukan online. Para guru di sela-sela ngajar, juga mencari wifi sekitar. Atau pergi ke luar desa,” jelasnya.

Kendati hidup tanpa sinyal, Salim menyebut masyarakat setempat lebih fokus pada hubungan sosial dan kualitas hidup yang sederhana. Menjauh dari hiruk-pikuk teknologi, warga bisa menikmati keindahan alam sekitar dan kehidupan yang tenang.

Tradisi dan Budaya Desa Diponggo

Selain terkenal keindahan alam dan tanpa jaringan internet, banyak tradisi dan budaya di Desa Diponggo yang tetap dilestarikan hingga kini. Seperti perayaan Puya Hale atau Dzikir Midher. Kegiatan membaca doa sambil berkeliling desa dilaksnakan setiap bulan muharam.

Menariknya, dalam perayaan tersebut, warga yang mengikuti hanya kaum lelaki dengan memakai aksesoris tongkat kayu Ghireng layaknya dulu Wali membawa tongkat pusaka. Sementara kaum perempuan mempersiapkan hidangan untuk disantap bersama usai acara ritual dzikir midher selesai.

Di desa ini juga, terdapat makam waliyuallah, yakni Zainab salah satu tokoh yang berperan penting dalam penyebaran Islam di Bawean. Hingga kini makamnya kerap dikunjungi oleh masyarakat desa sekitar hingga warga Bawean secara umum.

“Setiap tahun kita adakan haul dan meneruskan ajaran Wali Zainab yakni Kegiatan membaca doa sambil berkeliling desa,” tuturnya.

Mengenal Diponggo: Desa Terpencil di Bawean yang Terpisah dari Dunia Digital
Makam Waliyullan Zainab penyebar islam
di Tanah Bawean berada di Desa Diponggo. (Foto : Faiz/Gresiksatu.com)

Keunikan lain dari desa ini, banyak warga menggunakan bahasa Jawa sebagai komunikasi setiap harinya. Hal ini tentu sangat berbeda dengan kebanyakan warga desa-desa lain yang setiap harinya menggunakan bahasa lokal Bawean. Penggunaan bahasa Jawa di desa ini tak bisa lepas dari keberagam warga yang berasal dari Suku Jawa.

“Para nenek moyang dulu merupakan perantau. Sehingga terjadi persilangan budaya. Tak heran jika warga yang masih kental dengan adat jawa meski berada di Bawean,” jelas pria 53 tahun itu.

Diponggo adalah bukti bahwa di tengah kemajuan teknologi yang pesat, ada tempat-tempat yang tetap mempertahankan keaslian dan kehidupan tradisional mereka. (faiz/aam)

Rekomendasi Berita

Advertisement

Gresik Gres